Halaman

Rabu, 03 Agustus 2011

Lina Sang Penulis

“Lin, cerpen kamu apa sudah siap?  Jangan lupa ya, deadlinenya tanggal 5 Desember!” seru Ricka mengingatkan Lina.
“Iya!  Jangan khawatir!”
“Lin, tahun ini kamu yang membuat cerpen edisi natal, lho!” seru pak Tonny.  “Tahun lalu Ricka yang membuat cerpen natalnya..”
“Beres, pak!”  jawab Lina.

Lina seorang new comer di dunia kepenulisan, gadis enerjik yang wajahnya mirip Gita Gutawa ini langsung bergabung pada redaksi majalah “Anak Imut Indonesia (AII) begitu lulus kuliah. AII adalah suatu majalah anak pemeluk agama Kristiani, yang pamornya lumayan beken di tanah air Indonesia.  Selevel dengan majalah Bobo.

Sebenarnya Lina sendiri bukan alumni sekolah jurnalistik.  Melainkan dari bidang IT.  Tapi ia tidak hobi membuat program komputer.  Lebih senang mempergunakannya.
Jadi, ketika lulus kuliah, ia langsung melamar bekerja di majalah anak.  Bukan di majalah dewasa sekaliber Femina. Kenapa?  Sekali lagi itu karena ia bukan lulusan sekolah jurnalistik!  Jadi ia tidak menguasai (dan mengerti) kosa-kata tingkat tinggi seperti; “observasi,” “retorika,” “agitasi” dan lainnya.  Ia lebih menguasai kosa kata sederhana.  Kosa-kata yang anak kecil pun dapat mencernanya.
“Lin, cerpen kamu yang judulnya ‘Anak Ayam Jago’, bagus!!” ujar Windy teman gerejanya.
“Thanks!” Jawab Lina.
“Lin, cerpen kamu yang judulnya ‘Makan Sayur,’ lucu!” seru Desta, saudara sepupunya.
“Lin……..” dan sederet pujian lainnya dari pihak keluarga, mantan teman-teman kuliah, teman-teman gereja dan teman-teman nongkrong membuat perasaan Lina menjadi ‘melambung terbang setinggi langit.’

Sampai suatu ketika, Lina mengirim cerpen andalannya ke sebuah majalah remaja.  Setelah menunggu kurang lebih dua bulan, ternyata cerpennya DITOLAK!

“Lina yang baik, Trims ya untuk kiriman cerpenmu.  Tapi kalo boleh memberikan kritik.. Boleh ya, kami memberikan kritik?  Ini demi kebaikan kamu juga..  Untuk ukuran cerpen, isi cerpen kamu terlalu pendek.  Tata bahasanya kaku dan datar.  Coba deh kamu lebih banyak lagi membaca novel-novel remaja.  Dari situ kamu jadi tahu cara membuat gaya bahasa yang asyik punya dan tata bahasa kamu menjadi lebih kaya’.  Kami tunggu ya kiriman cerpen kamu selanjutnya!”

Ttd,
Redaksi Majalah CINDY

Dengan lesu, Lina men-delete isi e-mail tersebut.  Saat itu, Lina jadi tersadar pentingnya kritik dan saran dari teman-temannya.  Karena selama ini; baik pihak teman maupun keluarga, tidak ada seorang pun yang memberi input berupa kritik/saran membangun.  Yang ada hanyalah, “Wow!  Cerpenmu bagus sekalii!!”  serta sederet pujian-pujian lainnya.
Lina berpikir, ‘Dimana ya, tempat belajar mengarang cerpen di Indonesia?  Setau gue, belum ada sekolah resminya disini..!”

Keesokkan harinya, saat bekerja di kantor, Lina browsing-browsing internet.  Mencari tempat belajar mengarang cerpen yang oke punya!
“Coba masuk ke website Penulis Lepas dot Com aja!” seru Teddy, teman kantornya.  Rupanya Teddy sudah mengetahui rumour tentang Lina ingin belajar mengarang cerpen secara profesional dari Ricka, teman satu cubical Lina.

Website Penulis Lepas dot Com di klik.  Kemudian Lina membaca postingan dari para penulis Indonesia.  Terutama tulisan Ali Muakhir yang menurutnya sangat bagus!  Benar-benar menambah wawasan!!

Tidak lama kemudian, Lina meng-klik gambar “Sekolah Menulis Online.”  Melihat-lihat dan membaca penawarannya dengan seksama.  Berhubung terbatasnya dana, Lina yang semula ingin mengambil kelas utama (membayar satu semester lunas dimuka), akhirnya memilih mengambil kelas intensif saja.. (mencicil setiap bulan)

Lina sebetulnya ingin sekali menerbitkan cerpen-cerpennya dalam sebuah buku kumpulan cerpen.  Juga ingin bisa menulis secara konsisten seperti; Dee Lestari, Raditya Dika, Sitta Karina, de el el.  Tetapi ia telah banyak mendengar banyak berita bahwa; banyak banget penulis pemula yang sudah membuat buka pertama.  Langsung meledak di pasaran, namun setelah itu mereka tidak mampu membuat buku kedua, ketiga, dan seterusnya.  Karena semua ide; baik aspirasi mau pun isnpirasi sudah dituangkan habis-habisan di buku pertama. Hingga mereka menjadi benar-benar kehabisan ide.  Lina tidak mau bernasib sama!  Oleh sebab itu, ia memilih menjadi cerpenis  daripada novelis, agar ide-idenya dapat dituangkan sedikit demi sedikit hingga tidak pernah kehabisan ide untuk menulis. Dengan bergabung di SMO, Lina berharap, semua cerpennya dapat dikomentari oleh ahlinya; pak Jonru.  Supaya dapat berkembang menjadi lebih bagus lagi.

“Way to go, Lina!”  seru Teddy (sambil tersenyum) yang diam-diam menaruh hati pada Lina. End

Jakarta, 2010
~ Yenny N. ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar