Halaman

Rabu, 11 Januari 2012

Bully di Sekolah

#Dimuat  di Tabloid My School tgl 17 - 31 Desember 2012, rubrik Cerpen

Siang hari yang terik, setelah Lina menyelesaikan semua pekerjaannya, ia minta izin ke kepala divisi operasional untuk meninggalkan tugas. Biasanya memang ada kantor yang mengizinkan karyawannya bekerja setengah hari, apabila pekerjaannya sudah selesai semua.
Setelah satu setengah jam naik kendaraan umum, akhirnya ia tiba di sekolah SMP Bumi Pertiwi. Ia berjalan menyusuri koridor Sekolah. Setelah bertanya ke bagian Tata Usaha, Dengan deg-degan, ia berjalan menuju kelas IIIB, lalu mengetuk pintu kelas.
* * *
Enam belas tahun yang lalu..
Lina masih bersekolah di SMP Bumi Pertiwi. Ia bukan murid yang cerdas, tapi dibilang bodoh pun, tidak! Saat itu ia sedang dikucilkan oleh teman-temannya karena pernah ketahuan mengutil. Ya! Ia pernah mencuri uang teman sebangkunya. Tapi, setelah ia dipanggil Kepala Sekolah, dan orang tuanya pun dipanggil ke sekolah. Ia menjadi insyaf melakukannya. Karena malu!!
Lina bukan berasal dari keluarga berada. Jadi dia sering iri dengan teman-teman sekolahnya yang menggunakan pager.
Lain halnya dengan guru wali kelasnya. Ibu Ana. Beliau jadi lebih sering memperhatikan ulah Lina serta menekannya. Kalau bukan dibilang menindasnya!
Ketika ia melihat Lina tidak menyimak pelajarannya, ia segera memanggil Lina.
Bu Ana mengambil kursi duduknya sendiri, lalu membalik kursi tersebut hingga menghadap ke papan tulis, lalu Lina disuruh duduk disitu sambil di interogasi macam-macam. Seperti seorang terdakwa dalam sebuah sidang.
Di waktu lain, ia memanggil Lina, yang lagi-lagi terlihat tidak memperhatikan pelajarannya. Lalu menyuruh Lina mempraktekkan apa yang sedang ia lakukan di bangkunya. Yaitu; bermain-main bolpen.
Di waktu lain lagi, ibu Ana duduk disamping Lina, lalu mengikuti semua gerakan Lina.. Lalu berkata, “Kaya’ cacing kepanasan!!”
“Huh!” batin Lina. Lina sakit hati banget dengan gurunya ini. Sayangnya waktu itu adalah tahun sembilan puluhan. Dimana kekerasan guru sekolah dianggap sebagai hukuman biasa.
“Karena anaknya nakal!” demikian slogan tak resmi yang selalu di dengungkan.
Tidak seperti era tahun dua ribuan, dimana guru dapat dituntut bila melakukan kekerasan fisik maupun emosional kepada siswanya.
Itu belum ditambah dengan teman-teman yang selalu mengejeknya.
“Hidup seperti di neraka!” batinnya.
Lina tidak berani mengadu perbuatan teman-temannya maupun gurunya kepada orang tuanya. Karena orang tuanya pun pasti tidak akan membela.
Sepertinya masyarakat memang tidak bisa memberi pengampunan bagi orang yang bersalah. Ketika seseorang berbuat salah, maka stempel negatif selalu melekat di dirinya, meskipun dia sudah bertobat dan tidak akan pernah mengulanginya lagi.
Setahun yang berat akhirnya terlewati.
Kini Lina sudah masuk SMA. Di sekolah yang lain.
Di sekolah ini, ia berubah menjadi siswa berprestasi! Ia selalu masuk dalam peringkat lima besar di kelasnya.
Teman-temannya pun banyak! Dari semua angkatan.
Bersyukur akhirnya ia memiliki seorang pacar yang sangat baik.
Lulus sekolah, ia bekerja. Mengumpulkan uang untuk bekal kuliah.
Tiga tahun kemudian, ia mengambil jurusan psikologi. Pagi hari kuliah, malam hari tetap bekerja.
Lina tumbuh menjadi wanita yang mandiri.
Di tempat ini, Lina mempelajari filsafat dan berbagai macam temperamen manusia. Ada yang periang, cenderung pemurung dan sensitive, ada yang cenderung menonjol (kalau bukan disebut sebagai; ‘pemimpin’) ada yang cenderung pengekor dan sangat santai.
Lina juga belajar menghadapi berbagai tipe orang-orang sulit, seperti; yang suka berbicara terus-menerus, yang suka menyerang, memukul mau pun yang suka mengintimidasi. Dari situ ia mulai memahami bagaimana menghadapi orang-orang sulit tersebut.
Sebelum Lina resmi menjadi konselor, ia pun di di konseling oleh psikolog di universitasnya.
Dari situ baru diketahui; bahwa Lina menyimpan sakit hati terhadap mantan guru SMP-nya itu dan juga kepada teman-teman sekolahnya. Berdasarkan agamanya sendiri, Lina diminta oleh Psikolog untuk mengambil langkah pengampunan terhadap mereka semua. Lina menurut.
Satu bulan berikutnya, salah seorang teman sekolahnya, yang dulu menjadi musuh besarnya.. mengontak dia lewat jejaring sosial Friendster. Lina sangat terkejut, dan bahagia! Ia mengkonfirmasi permintaannya lalu bercakap-cakap lewat menu ‘pesan’. Lina sudah mengampuni temannya ini.
Selang beberapa hari, teman yang menjadi ‘musuh’nya juga, mengontaknya lewat Friendster. Lina segera mengkonfirmasi temannya ini. Ia semakin bahagia!
Sebulan kemudian, sudah banyak teman-temannya – yang dulu merupakan ‘musuh’nya – mengontaknya lewat akun jejaring social; Friendster. Lina kali ini mengucap syukur pada Tuhan, atas pemulihan yang terjadi.
* * *
Tepat enam tahun kemudian..
Saat ini Lina sudah berumur tiga puluh dua tahun. Ia sudah menjadi wanita eksekutif yang matang. Tapi ia masih ingat dengan ‘hutang’ masa remajanya.
Saat mengetuk pintu kelas IIIB, Lina masuk ke dalamnya. Disana ibu Ana sudah terlihat tua.
“Ibu masih ingat saya?”
“Siapa ya?”
“Saya, Lina. Murid tahun 1995. Yang dulu sering dihukum ibu,” kata Lina sambil berdebar-debar.
“Ooooo ya!! Saya ingat!” jawab bu Ana. “Apa kabar? Apa kamu sudah menikah?”
“Sudah, bu.. ” sahut Lina. “Sudah punya anak; dua!” (sambil tersipu malu)
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Mm.. begini bu, sebelumnya saya minta maaf.. sebenarnya selama ini.. saya ada ganjalan dengan ibu..”
Suasana hening..
“Saya agak sakit hati waktu ibu menghukum saya; karena tidak memperhatikan pelajaran ibu, bermain bolpen.. terutama saat saya duduk sebagai terdakwa!” LIna menunduk.
“Ooh.. kalau begitu, saya minta maaf! Padahal saat itu, saya juga suka mengatakan hal-hal yang baik tentang kamu, ke orang tuamu..!” Kata ibu Ana sambil tersenyum bijaksana.
Lina menatap wajah ibu Ana dengan nanar.
“Iya, Bu. Saya juga minta maaf karena selama ini saya sudah sakit hati terhadap ibu.”
“Baik, ibu maafkan..!” “Sekarang kamu bekerja dimana?”
Mereka akhirnya terlibat percakapan lain, yang mengasyikkan.
Setelah selesai, mereka bersalaman sebagai sahabat.
“Kapan-kapan, kalau ada waktu, mampir lagi ya?” Kata bu Ana.
‘Iya! Makasih, bu!” Lina segera pamit, lalu meninggalkan ruang kelas.
Ia berjalan keluar sekolah dengan penuh kemenangan!
Setelah melakukan rekonsiliasi, maka sirnalah semua luka hati Lina.

Tamat

Jakarta, 11 Januari 2012
~ Yenny N. ~

1 komentar: